Apa yang Bisa dipetik dari Fenomena Pandemi Covid-19 serta Fenomena Karantina?

Roberto Pangondian T
9 min readMay 26, 2021

--

Banyak sumber mengatakan bahwa munculnya fenomena penyebaran Covid-19 merupakan salah satu agenda pihak elite dunia (sebut saja seperti anggota Freemason, Rotschild atau organisasi lain yang tidak ada di map konspirasi dunia) untuk melakukan seleksi alam dengan caranya sendiri dengan menggunakan virus ‘Corona’ yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai virus ‘Korona’ dengan pelafalan yang sama sebagai senjata biologis yang kemudian lahirlah terminologi wabah penyakit ‘COVID-19’. Validnya informasi tersebut masih menjadi misteri dan masih dianggap spekulasi/konspirasi yang bertebaran sampai saat ini. Karena sepertinya lucu jika kebenaran hal tersebut dikonfirmasi secara langsung oleh para pelakunya. Tidak hanya latar belakang kejadian yang belum jelas, tujuan dari wabah ini secara pastinya juga belum ditemukan dan jika ada pun kita sebagai umat manusia setidaknya tidak akan pernah tahu untuk waktu mungkin yang cukup lama.

Namun untuk pastinya kemunculan virus Korona tersebut telah dipercaya pertama kali ditemukan di RRC, kota Wuhan tepatnya setelah adanya transaksi dan kegiatan mengkonsumsi hewan yang terjangkit virus Korona. Seharusnya hal ini penyebaran dan jatuhnya korban dapat dihindari jika hewan dibersihkan dan dimasak dengan prosedur yang benar namun hal yang terjadi justru sebaliknya. Warga Wuhan atau China pada umumnya memang sudah lama terkenal dalam lemahnya mengolah makanan secara tepat serta sanitasi peternakan dan pasar yang sangat buruk. Hal ini yang kemudian jatuhnya korban di China membuat secara cepat juga mewabah di seluruh dunia. Penyebaran virus sangat cepat melalui udara oleh karena itu jalur transportasi seperti bandara dan pelabuhan menjadi pintu penyebaran penyakit ini.

Gejala penyakit ini ditemukan pada tenggorokan, hidung, mulut serta indikasi pada suhu badan manusia yang naik secara drastis. Gejala-gejala yang disebutkan tersebut sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh virus SARs yang sebelumnya juga muncul beberapa tahun sebelumnya di beberapa negara. Yang membuat warga dunia melakukan salah satu solusi untuk mengurangi penyebaran wabah nya maka diharuskan melakukan Penguncian Wilayah/Negara serta melakukan karantina oleh warganya baik secara mandiri atau dilakukan institusi.

Informasi awal kemunculan virus korona ini semakin banyak dipertanyakan disebabkan penanganan yang lamban dari PBB, yang mana pensidakan dan penyidikan kasus ke tempat kejadian awal perkara dilakukan sangat lama jaraknya dari pecahnya kasus utama. Bahkan sampai kota Wuhan sudah pulih dari wabah terkait. Ditambah lagi banyak simpang siur cara penanganannya secara mandiri di awal-awal penyebaran yang disarankan oleh dewan PBB dalam hal ini WHO. WHO disini perannya layaknya seperti dokter dan warga dunia sebagai pasien nya. Namun bedanya disini dokter tampak tidak menjalankan kode etik, dan seperti memperlambat kesehatan dan si pasien. Seharusnya WHO pada awal kemunculan virus ini bisa saja berkoordinasi dengan duta-duta besar yang ada di negara yang paling parah terdampak untuk bekerja sama memecahkan kasus penyebaran virus ini namun tampaknya gerak cepat dari pihak PBB nihil.

Kejanggalan lainnya adalah penyebaran virus ini yang terlalu cepat, yang mana virus sangat sensitif dan ‘vulnerable’ terhadap cuaca. Ya, virus reproduksi nya memang tergolong cepat namun kelemahannya mereka tidak bertahan lama tanpa ada inang yang kemudian ditambah lagi suhu dan cuaca disetiap tempat/daerah itu tidak sama bisa berubah per mili detik. Hal ini kemudian juga memunculkan konspirasi bahwa pelucutan senjata biologis ini tidak hanya dilakukan satu gelombang namun ada beberapa dan dilakukan di beberapa TKP yang berbeda.

Di era informasi seperti sekarang penanganan kasus besar seperti ini seharusnya mudah dilacak dan bukan sebaliknya layaknya seperti film yang membutuhkan sekuel. Hal ini tentu hal yang paling menarik untuk dibahas di abad ini.Nah bukan itu aja penulis juga mau membahas beberapa hal serta pesan penting yang bisa diambil dari fenomena ini dan dari apa yang telah dialami dan mempertanyakan nya juga nih guys so let’s check this out

#1 Dari paragraf sebelumnya menunjukkan bahwa skenario ataupun alur pandemi ini seakan mudah terbaca, masih terlalu dasar namun sisi bagusnya semua sangat mulus dan terjadi di tempat dan waktu yang tepat. Jika semua hal tersebut memang terjadi dengan latar dan konspirasi yang penulis buat maka hal yang bisa didapatkan adalah kemudahan mempercayai sesama manusia semakin berkurang dan hal ini semakin menguat di saat-saat krisis makanan, ekonomi, kesehatan, kesenjangan sosial, keamanan seperti sekarang ini. Bisa dikatakan misi telah berhasil. Iman dan ‘trust-issue’ manusia semakin diuji maka yang hanya bisa dipercayai satu-satunya hanya diri sendiri dan mungkin keluarga dan teman-teman terdekat.

#2 Setelah merebaknya Virus Korona, semua orang dianjurkan menghabiskan waktunya didalam rumah atau disebut dengan melakukan isolasi atau kegiatan karantina. Karantina di saat virus ini melakukan kepentingannya sepertinya tidak terlalu menakutkan karena manusia masih bisa kembali keluar rumah untuk melakukan kegiatan yang dirasa diperlukan dengan pemenuhan kebutuhannya.Namun dengan peminimalisasian interaksi sosial secara fisik sampai tidak ada interaksi sama sekali yang kemudian diganti dengan interaksi virtual. Yang kemudian sepertinya sebagian besar manusia menemukan kesulitan dalam menjalankan hal tersebut. Karena keduanya tidak dapat ditukar, interaksi sosial alami sangatlah dibutuhkan manusia karena alaminya manusia adalah makhluk komunal dan satu sisi juga disaat interaksi interpersonal terjadi disana juga ada kegiatan biologis seperti pelepasan dan penarikan hormon. Jika hal tersebut sangat minim dilakukan apa yang terjadi? Rasanya seperti dipenjara namun dengan sedikit ‘cheat’ disana dan disini.

Nah jika berada di penjara tentu manusia terbatas dalam ruang gerak dan interaksi nya. Hal positif yang bisa diambil adalah dibalik terbatasnya ruang gerak fisik namun sebenarnya manusia tidak pernah terbatas ruang imajinasi nya. Di disini manusia dipercaya hanya menemukan dirinya sendiri, ketakutannya dan imajinasi nya. Untuk banyak orang menemukan hal ini sangat mengerikan karena secara psikologi hal ini merupakan fobia yang dimiliki sebagian besar manusia apalagi terjadi secara ‘abrupt’. Ditambah lagi dari yang penulis baca ‘perubahan yang secara cepat dan drastis itu ditangkap oleh otak sama parahnya dengan sakit fisik/tubuh’. Namun ‘time heals everything’ yang mana waktu penyebaran virus yang belum berhenti untuk waktu yang lama membuat manusia mampu untuk melewatinya.

‘Somehow human not only survive’ tapi manusia ‘Passes their own limit’ dan manusia tanpa disadari juga bisa melakukan banyak hal di saat dipenjara. Salah satunya ‘Our imagination travel and go beyond the surface’ dan manusia bisa merefleksikan hidupnya dan pilihan yang diambil di rentang waktu tertentu dan dengan ketinggian atau kedalaman tertentu. Hal ini baik dikarenakan cepat atau lambat sebenarnya manusia pasti akan mengevaluasi lagi pilihannya secara berkala namun dengan adanya pandemi manusia menjadi berada di ‘start’ yang sama dan ‘on the same page’ namun dengan konteks yang berbeda. Maka tidak heran jika kita melihat narapidana yang telah bebas dari penjara, banyak dari mereka ‘somehow found blessings in disguise’ dan banyak yang sukses ‘embark upon new journey’ dan menjadi pribadi yang lebih baik dan sukses ‘on their own lane’. Jika hal ini merupakan salah ‘main goal’ dari seluruh skenario Pandemi Scheme maka bisa dikatakan experiment gone right dan jika bukan maka bisa dikatakan mission gone wrong. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mencoba membahas nya selanjutnya di artikel yang berbeda.

#3 Last but not least, Fenomena “Fear Of Missing Out” atau disingkat (FOMO) sudah tertanam sangat lama sejak kemutakhiran ponsel pintar dan perangkat komputasi lainnya, yang membuat kemudahan mendapatkan informasi secara cepat dan praktis yang dibantu ‘tools’ yang tidak terbatas. Namun dengan merebaknya Covid-19 membuat hal ini semakin menjangkit di pribadi masyarakat. Sebenarnya hal ini sah-sah saja namun akar dari kegiatan ini tidak baik yang mana berlandaskan ‘fear’. Manusia menjadi haus akan informasi dan hal-hal yang ada diluar dirinya yang sangat bisa tidak ‘necessary’ dan tidak menambah nilai positif kepada gaya hidup. Manusia berpikir bahwa merebaknya pandemi ini sebagai salah satu konspirasi yang bisa mereka benarkan tanpa mereduksi yang tidak diperlukan dan memproses informasi yang semakin mudah didapatkan. Konspirasi yang ada bisa membuat manusia berpikir bahwa pandemi ini merupakan salah satu peringatan atau rencana kecil untuk rencana berikutnya yang lebih besar yang dijalankan pihak tertentu yang mana bisa sangat tidak benar. ‘Human seems to lose their own compass’. Informasi-informasi seperti ini bisa meracuni pikiran dan merubah fokus yang telah dimiliki. Yang pada akhirnya manusia juga terpicu untuk memiliki ‘control-issue’ yang lebih besardari sebelumnya untuk hal-hal yang tidak ada gunanya untuk di kontrol ‘according to human mental health’. Tidak hanya ‘control-issue’ yang bisa terpelatuk, ketakutan (fear) dan over-thinking sepertinya menjadi salah satu bumbu sekaligus ‘triggered’ dalam agenda ini

#4 Dalam seorang manusia menurut ilmu post-psikologi atau mengarah ke ilmu metafisika mengatakan bahwa manusia terdiri dari ‘masculine’ dan ‘feminineenergy. Jika secara biologis hal ini sedikit berbeda yakni jika seorang manusia terlahir wanita maka hormon nya harus lah banyak hormon wanita yang merujuk kepada kromosom nya yang kemudian menunjukkan spesifikasi perilaku yang diekspektasikan harus dimiliki. Namun secara psikologi sifat mental keduanya harus dimiliki secara seimbang oleh kedua gender agar memiliki mental yang kuat dan sehat. Yang mana jika pribadi laki-laki lebih menunjukkan dominasi dan lebih dekstruktif namun wanita lebih ‘withdrawn’ dan membangun. Yang mana sifat keduanya ini harus di ‘possesed’ oleh kedua gender. Namun fenomena yang dialami penulis dan mungkin oleh pembaca juga, kita masih menangkap dan melakukan hal-hal yang berlebihan di salah satu sisi. Seperti yang terjadi pada penulis, penulis meyakini untuk melakukan kerja keras tanpa henti yang mana akhirnya tidak baik untuk kesehatan fisik dan juga yang tidak kalah penting kesehatan mental dan pikiran. Kerja keras tanpa henti ini pada akhirnya merujuk pada tindakan dekstruktif.

Seperti yang sebelumnya dipaparkan bahwa sifat dekstruktif diidentiktakn dengan sifat masculine atau kepada sifat jantan. Tidak hanya sifat dekstruktif, penulis juga mengalami kegiatan ‘control-issue’ yang tampaknya semakin parah lagi jika di abad informasi seperti sekarang. Sifat ‘control-issue’ secara berlebihan ini sangatlah tidak baik bagi manusia yang mem-possesed nya. Sifat ‘control-freak’ ini juga diyakini oleh penulis merupakan akar juga dari sifat desktruksi. Namun semuanya terlihat dapat diluruskan di saat penulis menjalani karantinanya, karantina mengajarkan penulis bahwa dua sifat maskulin diatas telah sangat berlebihan dilakukan dan sebaliknya melupakan sifat-sifat feminim yang cukup yang harus dimiliki yang tentunya juga banyak seperti membangun diri sendiri, self-awareness, self-love, belief-system, self-dicovery, dan masih banyak lagi. Kemudian apa yang terjadi jika sifat feminim ini lantas kemudian diabaikan? Mari kita temukan di nomor 5.

#5 Apa yang terjadi jika melupakan kualitas feminim yang seharusnya dimiliki? Manusia tentu menjadi rapuh, sebaliknya sebagai gambaran kita bisa melihat bagaimana seorang Ibu yang dapat melakukan banyak hal namun disatu sisi membesarkan satu ataupun banyak buah hatinya dengan sangat baik dan impresif. Seperti itulah jika manusia memiliki nya secara seimbang namun tentu secara alami wanita memiliki sifat feminim nya secara alami lebih banyak, namun untuk menyeimbangkan nya tentu perlu kerja keras.

Namun jika tidak seimbang maka penulis dapat menjelaskannya seperti manusia akan mudah takut akan apa yang tidak bisa dikontrol diluar dirinya seperti fenomena pandemi seperti sekarang, kemudian ‘sense of own self’ nya mudah di ombangkan oleh hal yang diluar dirinya, kemudian manusia menjadi terlalu konsumerism, dia meyakini hal-hal diluar dirinya mampu mengisi apa yang dia tidak miliki didalam jiwanya. Hal ini tentu tidak benar karena sejatinya setiap manusia itu berbeda-beda dan telah dilengkapi dan dipersenjati oleh alat-alat yang lengkap dan unik didalam dirinya untuk memerangi apa yang menghalangi jalan serta tujuannya di kehidupan ini, selain itu jika hal diatas tersebut semuanya diborong maka kompas dirinya akan hidup akan hancur seraya juga dengan ‘sense of own self’. Menurut penulis ‘sense of own self’ itu sangatlah penting karena disaat memiliki nya disaat itulah kita aman akan diri kita sendiri dan apa yang telah dimiliki dan akan dimiliki.

Namun apa yang terjadi jika kita kekurangan akannya? Sebagai gambaran dan pesannya penulis menemukan banyak fenomena sebelum pandemi seperti manusia yang tidak puas termasuk penulis akan apa yang ada di ‘present day’ nya seperti apa saja yang telah dimiliki, siapa saja yang masih bersama kita dan yang dikerjakan nya sekarang. Yang membuat manusia terlalu mengeluh dan berharap untuk tidak berada dan bekerja ditempat sekarang. Mungkin pandemi merupakan salah satu permintaan dari banyak kita manusia yang diwujudkan oleh Tuhan akan hal-hal yang disia-siakan di hari-hari sebelumnya sehingga pada saat pandemi banyak yang berpindah pekerjaannya, dan juga tidak banyak yang juga kehilangan orang-orang yang terpenting di kehidupannya atau juga untuk mengajarkan untuk memiliki sense of own self sehingga tidak takut untuk keluardari situasi yang tidak memuaskan karena sejatinya ‘God has our back’ serta juga mengajarkan untuk bersabar dalam setiap kondisi termasuk pandemi, yang secara otomatis mengajarkan bahwa semua yang kita inginkan ‘always around the corner’ dan ‘just trust the process’.

Nah jika kita memiliki ‘sense of own self’ penulis merasa kita akan selalu aman, walaupun untuk agenda lain selanjutnya menerjang setelah yang satu ini. Mungkin itu aja yang bisa penulis akumulasikan untuk apa yang bisa penulis petik dari fenomena pandemi Covid-19. Semoga membantu kalian para pembaca ya.

Sampai jumpa di artikel-artikel berikutnya karena dipastikan bakal berbeda dan menarik untuk dibahas :) see you next time, and thank you for reading.

--

--